Saya selalu berpikir saya dan Iqbal akan memulai karir dan pensiun bersama. Namun ternyata takdir berkata lain. Kami pertama kali kenal sekitar 8 atau 9 tahun yang lalu. Saat Dapur Film masih di jalan AMD, saat sepatu-sendal masih sering berantakan di depan pintu depannya.
Saya sedang meeting skenario saat Iqbal masuk, entah skenario Fairish atau sedang mulai Lentera Merah. Lalu Mas Hanung memperkenalkan dia sebagai anak magang dari Surabaya.
“Kenal Mas Hanung dari mana?” Tanya saya. “Dari kirim message friendster,” jawab Iqbal sambil nyengir. Lalu mengalirlah cerita Iqbal tentang kisah epic-nya: nekat pergi dari Surabaya untuk magang (dan kemudian tinggal) di Dapur Film. Obrolan kami bertambah hangat karena kami seumuran (20 tahun, masih lugu bin naif) dan sama-sama lahir di Kalimantan Timur.
Dari detik itu, hingga pada saat terakhirnya, ada tiga hal yang terus bertambah dari Iqbal: keberaniannya, kebaikannya dan cintanya pada film. Saya menyaksikan dia membangun keluarga sembari terus berani belajar di tiap karyanya. Bahkan sekitar dua bulan lalu, Iqbal masih mengirimkan sebuah novel yang dia ingin saya adaptasikan.
Kini Iqbal sudah pergi dengan tenang. Saya bersama para sahabatnya datang ke Surabaya, ke rumahnya yang dulu dia tinggalkan demi passion-nya. Kami melepasnya diiringi airmata serta kisah semangat dan ketabahan Iqbal yang luar biasa di sisa waktunya dari orang-orang terdekatnya.
Iqbal memang kini sudah berpulang, namun kenangan baik, keberanian, serta cintanya pada film dan hidup akan terus ada bersama kita, sahabatnya, keluarganya, Mia dan Kiara.
Selamat beristirahat Iqbal Rais. Hidupmu adalah cerita baik yang akan terus menginspirasi kami. Insya Allah, kami akan saling menjaga di sini.
Al-fatihah….