Gara-gara postingan IG Kak @alexandermatius mengenai kritikus film dan panjangnya perjalanan menjadi penonton, memicu ingatan saya tentang suatu malam di sekitar tahun 1990an di Balikpapan, Kalimantan Timur.
Malam itu saya di mobil berdua sama Bapak, jalan mobil lambat karena jalanan penuh manusia, langit merah tua, sirine mobil pemadam kebakaran memekakkan telinga. Jelas kebakaran penyebabnya. Dari dalam mobil saya bisa melihat orang-orang berlari panik membawa ember berisi air seadanya. Ikut swadaya memadamkan api.
“Sepertinya bioskopnya kena,” kata Bapak menunjuk ke puncak api.
Semakin dekat kami makin saya terpana sebab seumur-umur baru sekali saya melihat api sebesar itu. Biasanya saya melihat api seukuran itu cuma pada layar bioskop.
Sejujurnya saya tak benar-benar ingat bioskopnya ikut terbakar atau tidak. Ingatan masa kecil saya banyak memudar tertimpa informasi digital. Sementara bapak saya sudah alzheimer, ibu saya tidak ikut jadi tak bisa konfirmasi. Semalam saya google, sepertinya itu Bioskop Nusantara yang kami lihat. Foto ini adalah foto yang saya temukan dari pencarian singkat itu.

foto atas dari fb page: Balikpapan Tempo Doeloe

foto dari: cahayakaltim.com
Namun selain ingatan sekilas ini, tulisan Mamat mengingatkan yang lebih hakiki lagi: kalau hilangnya satu bioskop itu berarti hilangnya satu akses menonton untuk warga. Menonton di sini tak sesederhana hanya untuk cari hiburan, tapi juga sebagai kesempatan diskusi, ekonomi, ilmu, dsb. Bahkan kesempatan mulai karir atau cari jodoh kalau mau.
Akses itu segalanya. Saya sepertinya akan sulit jadi pembuat film bila keberuntungan tidak saya membawa semakin dekat dengannya; kali ini seklasik keluarga pindah ke Jakarta. Di kota ini, akses saya ke film jauh lebih banyak. Masa remaja saya diisi zaman laser disc disambut VCD, hingga DVD. Saya skip Bluray karena mahal. Mau nonton di bioskop? Tinggal ke bioskop Buaran, Metropolitan Mal, Kelapa Gading, PIM, Wijaya, atau TIM. Jadi dulu kalau pas saya remaja menonton cuma urusan mengumpulkan uang jajan, mau hemat tinggal nunggu hari Senin biar hemat, mau pergi sama siapa. Makin besar, nonton sendiri juga tak masalah.
Namun, pasti beda urusannya kalau saya dulu masih seorang remaja yang tinggal di Balikpapan. Jangankan mengakses ilmu untuk paham pembuatan film, mengakses film terbaru di bioskop saja, urusannya panjang. Bioskop alternatif? Dulu masih asing dipahami, bahkan hingga sekarang saja masih perlu kita perjuangkan bersama.
Sementara itu selama bertahun-tahun kemudian di Balikpapan, seiring era bioskop satu per satu menghilang, yang tersisa hanya bioskop Gelora. Bioskop itu pun bertahan di tengah kesulitan karena cinta pemiliknya pada bisnis film, fasilitasnya memburuk, film yang diputarkan juga selalu ketinggalan. Perlahan di Balikpapan sulit punya budaya menonton film di bioskop hingga akhirnya jaringan bioskop XXI dibuka kembali pada 22 Desember 2008.

foto dari: http://godiscover.co.id/
Mengenang yang begini ini bikin saya sebagai pembuat film harus rajin-rajin ingat menaruh hormat pada para penonton film. Perjalanan mereka (dan kalau dipikir-pikir pembuat film selamanya juga penonton) seringkali bukan hanya uang yang dikumpulkan, tapi juga keberuntungan mendapatkan akses menonton bioskop. Karena itu, saya selalu merinding setiap dengar cerita teman-teman yang bawa filmnya ke pemutaran layar tancap ke daerah yang tak ada bioskopnya. Selalu terharu dapat tweet/DM yang bilang rela jauh-jauh ke kota tetangga untuk menonton film terbaru saya.
Menonton film di bioskop adalah kemewahan, tapi sesusah-susahnya kita berusaha bikin film, kesempatan membuatnya sudah jelas lebih mewah. Jika bikin film sudah pasti bikin salah, ini kita hidup dari orang yang mau membayar untuk “menikmati” kesalahan kita. Bahkan ada yang memilih jadi menjadi kritik film sebagai profesinya, yang bagi saya adalah ini adalah profesi pengabdian seperti profesi guru. Dalam pengabdiannya tentu ada yang baik dan yang buruk. Namun tetap saja sama-sama mengabdi.
Sehingga membuat film dengan bertanggung jawab adalah keharusan dan menerima respon, sepahit apapun, selalu bisa jadi pengingat keberuntungan kita.
Kadang kita dapat komentar baik argumennya yang membakar semangat. Kadang sial dapat komentar buruk logika tulisannya atau dapat komentar yang menyulut emosi karena yang komentar memang sentimen saja sama kita. Bisa lebih buruk lagi, menunggangi film kita untuk kepentingan politisnya sendiri. Semua wajar karena yang bikin dan yang nonton sama-sama manusia. Tak tertebak. Semua punya agendanya sendiri.
Kembali bicara api, bagi saya nonton film di bioskop lalu membicarakannya ramai-ramai itu bagai kumpul api unggun di masa kini. Bagi saya film miriplah api unggun: dibuat bersama untuk menikmati cerita beramai. Jadi sudah takdir film, atau sineeemaaa (kata kawan saya harus semangat kalau ngomong ‘sinema’), untuk hadir dan mengingatkan kalau kita semua manusia yang akan selalu saling membutuhkan.
Kualitas komentar tumbuh karena hubungan dua arah. Mungkin kualitas komentar yang kita dapat sekarang ini juga hasil dari kualitas karya dan standar diri yang secara kolektif pembuat film telah berikan sebagai industri.
Mungkin juga karena makin ramai film dan penikmatnya, maka cara menikmati komentarnya juga perlu beragam. Kegagapan menerima dan memberi komentar selalu terjadi saat kita tak bertemu dan terjadi dalam jumlah banyak. Kita sibuk berpendapat dan lupa menyimak. Padahal membuat film seringkali tentang rasa, karena itu wajar bila pembuat film bisa defensif saat pengalaman menonton dibanalkan hanya menjadi beberapa kalimat/angka/simbol ikon. Bukan cuma karena biaya besar, tapi waktu yang dikorbankan pun bisa mendadak terasa sia-sia atau dilecehkan.
Di sisi lain, ada teman-teman pembuat yang beruntung telah mengakses festival serta punya banyak pengalaman bertemu dengan penontonnya. Mereka lebih paham bagaimana komentar/kritik berubah jadi diskusi yang kaya. Mereka menikmati apresiasi yang bukan sekadar barisan kalimat review atau jumlah angka dan bintang. Saya percaya komentar, kritik, dan cara menanggapi yang berkualitas akan hadir karena jam terbang diskusi yang berkualitas pula, tak cukup dari pengalaman menonton saja.
Mungkin ini mengapa dunia konten akan selalu hidup dan menghidupkan. Justru pada saat semakin banyak film, “api unggun” kecil kita perlu diperbanyak. Sebab pengalaman berfestival adalah pengalaman yang mewah juga tak semua pembuatnya bisa mengakses. Semua pembuat film yang terlibat makin perlu bertemu dengan penontonnya dalam ruang pemutaran-pemutaran yang baru. Umur film tak sepatutnya hanya diukur dari berapa lama dia ada di layar bioskop jaringan utama dan jumlah penonton yang dikumpulkannya pada saat singkat itu saja. Menurut saya akan sulit maju industri yang sibuk bicara Intellectual Properties (IP) tapi tak kasih ruang untuk merawat kewarasan pekerjanya, propertinya, dan sibuk eksploitasi saja. Tapi ini bahasan lain postingan (kalau sempat).
Ini bisnis cerita dan cerita selalu butuh sentuhan manusia. Saya percaya bila kita bisa sering jumpa, bercakap hangat, maka selalu bisa ada kisah-kisah yang baru.
Salam hangat untuk teman-teman pekerja, penonton, pengulas, dan pengkritik film semua. Mari kita hidup bersama…
Paling utama, terima kasih Kak Mamat sudah diingatkan 🙂