Beku

Semalam, alam semesta secara acak mempertemukan gue dengan teman-teman SMA gue. Salah satunya adalah sahabat gue yang biasa gue temukan di Path sangking kami terlalu sibuk. Yes, God bless this app. 

Jadi semalam adalah quality time kami. Chicken wings, bir dingin, asap rokok dan percakapan ala Sex and The City kami. Dia: Miranda, gue: Carrie dan teman kami, a proud coming out gay, yang kemudian datang adalah si Samantha.

Tapi sebelum kami berenam, ada hanya kami berdua. Kami berdua si sama-sama Virgo, hidup penuh drama, susah punya teman cewek (karena nggak tahan sama obrolan cewek yang suka nggak penting) dan karena itulah kami cocok. Kami jarang bertemu, tapi sekali bertemu kami bisa bicara seluruh rangkuman hidup.

Kami bertukar cerita. Berusaha cari solusi. Ngomong blak-blakan. Bahas soal comfort zone. Yadda yadda yadda… Sampai akhirnya gue bilang: “Kadang gue selalu pengen bekuin waktu lho, Teph, kalau keadaan lagi baik-baik aja. Soalnya gue tahu, setelah masa bahagia dan tenang itu bakal ada masalah.”

Sahabat gue ini tertawa, “Anjrit! Sama banget kayak gue!” 

Gue ketawa. Lega. Karena rasanya gue nggak pernah cerita ke siapa-siapa sebelumnya. Kenapa? Soalnya gue pikir itu konyol dan egois, nggak fair untuk orang terdekat yang sedang tumbuh. Ya Tuhan, untuk urusan ngayal gini aja gue masih enggak enak hati.

Lega karena bukan cuma gue doang yang suka mikir gitu. Lega karena dalam satu waktu hidup, ada orang yang setuju lo boleh sejenak jadi pengecut, sebelum akhirnya jalanin lagi. Beresin kekacauan yang sedang terjadi.

“Tapi lo harus berhenti nyalahin diri lo sendiri tau, Gin. Stop terlalu keras sama diri lo sendiri. Nggak kasih solusi apa-apa!!” 

Gue cuma bisa mengangguk. Ya, gue tahu itu. Tapi gue nggak bisa menjawab. Gue belum tahu gimana caranya. Gue sesap lagi minuman gue. Karena sama seperti sekarang, saat itu pandangan gue mulai kabur, mata mulai panas dan air mata nyaris menetes.

Advertisement