“Muntah” Sebelum Nulis #1

Salah satu alasan gue membuat blog lagi, selain untuk alasan yang filosofis: refleksi diri (cieh!), adalah untuk menampung “muntahan kata”. Kadang-kadang otak gue ini mampet merangkai plot serta kata-kata sebelum menulis.  Jari-jari tangan juga kaku diajak mengetik panjang. Sehingga jadilah blog ini semacam ajang pemanasan, semacam foreplay, semacam appetizer, sebelum ke menu utama: menulis cerita panjang. Berhubung kali ini gue sedang aja proyek menulis yang agak panjang dan di medium cerita yang baru, maka harap maklum kalau ke depannya seringkali isi blog ini berisi “muntahan” yang tak penting.

Sebelumnya gue biasa “muntah” di twitter. Tapi keasikan muntah dalam 140 karakter bikin gue jadi lebih nggak produktif. Kalau nulis panjang itu bagai lari marathon, maka kebanyakan ngetwit itu bagai jogging yang kebanyakan jalan. Bagi gue, twitter bukan latihan yang cocok biar panas untuk nulis panjang. Oke, kecuali Aris. Kalau Aris, “muntahan”-nya memang lebih serius, dia candu ber-@fiksimini. “Muntahan”nya ini sudah mencapai ribuan tweet fiksimini dan bahkan sudah jadi sebuah komik yang diterbitkan: PoliTweet. Tapi memang sih taraf produktif dia sudah sampai ke level nggak sopan. Gue juga ragu kalau dia masuk ke dalam kategori manusia normal dalam urusan produktif ini, hehehe, jadi kita nggak perlu minder berjamaah :p

Yak, sudah dulu muntahnya. Sekarang waktunya kembali bekerja. Besok deadline dan tatapan editor gue serta asistennya saat nagih itu bikin nggak enak hati -___-” Gue yakin di kehidupan sebelumnya mereka adalah interogator... atau bisa juga mandor. Hehehe.

PS:

Ngomong-ngomong soal lari, tadi pagi gue dan Teguh hidup sehat banget. Waktu ke Bali kemarin untuk world premiere Jakarta Hati (akan ditulis di post terpisah, ehm, kalau rajin :p), gue dikasih tahu Agni Pratistha spot lari pagi yang asik: di kebun binatang Ragunan. Yep, ternyata lo bisa masuk untuk olah raga sebelum waktu bukanya pukul 09:00. Maka langsung semangatlah gue kembali lari. Untung si Teguh juga mau ikutan lari tanpa harus diiming-imingi akan ketemu Agni di sana. Hari ini gue bangun pukul 04:45, (nggak sadar) ngebut sangking kosongnya Tol JORR, jemput Teguh, lalu sampai di Kebun Binatang Ragunan pas pukul 06:00.

Enak banget di sana: murah, aman, masih sepi, adem dan oversupply oksigen karena banyak pohon. Di sana lari-lari kecil sambil kebanyakan jalan karena kami anak jompo : )) Selain itu jadi salah fokus keliling lihat binatang. Hehe. Binatangnya cuma beberapa yang kelihatan. Ada yang sudah mau menyapa: gajah; Ada yang malu-malu: jerapah; Ada yang masih dikandangin: orang utan; Ada yang nggak ketemu karena entah-jauh-banget-atau-emang-cuma-mitos-kalau-binatang-itu-ada-di-Ragunan: Harimau Putih.

Anyway, we had fun dan sepakat mau rutin lari di sana. Target kami minggu depan adalah ketemu Harimau Putih dan bakar lebih banyak kalori! : D

*lah ini kenapa jadi nulis lagi sih? -__-“*

 Disclaimer: perut gede itu bukan buncit! Itu akibat naruh semua barang ke dalam kantung jaket :p

Quote of the day dari Teguh: Mbak, gajahnya nggak bisa lompat keluar kan? : ))

Akhirnya bisa ngelihat buah (?) Randu secara close up and personal! #halah 

Sebelum keluar dari pintu utara Kebun Binatang Ragunan dilepas sama pelikan …

… dan dilepas sama ibu-ibu pengajian yang mau shooting acara agama sama Trans 7. Btw, shooting siang hari di Ragunan dan  pakai seragam pengajian memang cara yang efektif biar takut neraka. Panas, man! Hehehe.

Advertisement

Karena Ini Totok, Bukan Ketok

Dear mbak yang kemarin sore memijat dan menotok saya,

Saya selalu menghargai orang-orang yang punya passion dengan pekerjaannya. Orang-orang yang melakukan pekerjaannya dengan cinta, semangat dan keseriusan tinggi. Salah satunya adalah mbak. Jadi, karena saya tak sempat bicara dengan mbak saya menulis ini. Walau kalau dipikir-pikir kemungkinannya kecil mbak baca ini, tapi tak apalah saya tulis saja daripada dipendam jadi masuk angin.

Mbak, jangan kecewa kalau kemarin sore mbak gagal membuat aura saya jadi lebih cerah. Seumur-umur saya totok aura baru sekali ini ada mbak totok aura yang beneran kecewa lihat aura saya tak cerah. Awalnya saya mau ketawa, tapi melihat keseriusan muka mbak, saya tahu mbak nggak bercanda.

Saya memang nggak percaya sama konsep totok aura. Lalu kenapa saya dulu mencoba totok aura? Karena pada dasarnya ditotok adalah impian masa kecil saya. Semua gara-gara cerita kung fu di RCTI waktu saya SD. Kemudian  mulailah main totok-totokan jadi happening. Main kejar-kejaran, siapa yang ditotok nggak bisa gerak. Tentu, saya yang paling sering kalah.

Walaupun saya nggak percaya totok aura, tapi saya menikmatinya. Saya memang pecinta tekanan. Kalau pijat sukanya ditekan yang keras dan shiatsu itu  pijat favorit saya. Jadi aura bersinar itu bonus kok mbak. No pressure!

Dan iya mbak. Saya memang banyak masalah, atau mungkin karena sebenarnya saya sedikit ngintip waktu mbak suruh saya merem pas menotok. Oya, mbak bener kok, saya sedang banyak pikiran. Satu-satunya yang saya nggak terlalu suka dari berbagai jenis tekanan adalah tekanan hidup.

Jadi mbak jangan sedih karena aura saya tak bercahaya. Nggak perlu minta maaf karena itu bukan kegagalan mbak. Lagi pula abu-abu atau hitam memang warna saya. Mbak boleh cek ke online shop langganan saya kalau tak percaya.

Bener ya mbak, jangan sedih. Karena ini totok, fungsinya bikin rileks bukan bikin masalah hilang. Ingat ya mbak, jangan kecewa, ini totok, dan mbak tak sedang kerja di bengkel ketok magic yang bisa sekali ketok bikin mobil mulus kembali.

Tetaplah semangat kerja mbak. Mungkin lain waktu kita bersua, totokan mbak akan bikin aura saya secerah yang mbak harapkan.

Salam hangat,

Pelanggan sore kemarin di Gardenia Bintaro

yang rewel mau shiatsu tapi dapatnya hot stone dan totok.

I think I’m in Love

Berhubung Tina Fey sudah makin tua. Mari siap-siap cari penggantinya.

GUE SUDAH ADA DONG! *sombong yang tak penting*

Jadi gue nggak sengaja nemuin channel YouTube ini (ehm, bukan pas lagi kerja ya! Sumpah! Bener kok! Bener!) namanya communitychannel. Ini VLOG dari Natalie Tran. Selain gue jatuh cinta karena topik yang dia pilih, dan lucu!, gue suka sama idenya kalau selalu dia yang jadi karakter-karakter lain di videonya. Niat banget lah.

Sumpah dia lucu banget. Awesome! X))  Kalau dia di Amerika pasti sudah masuk SNL nih.

Oya, Natalie ini asian chick yang tinggal di Sydney, Australia karena orang tuanya, asal Vietnam, ngungsi pas perang. Jadi kalau bingung mengapa dia berlogat Aussie begitu kisahnya.

Ya udah lah mari cekidot!

 

update:

Karena gue merasa tiba-tiba berdosa sama Tina Fey, gue mau mengabarkan kabar gembira! Bahwa. Tina Fey. Dan. Amy Poehler. Akan. Jadi. Host. Golden Globes. 2013! Yeay. Semoga nggak kiamat :’)

I love you still Tina!

 

So Called “Anak Zen” Trip: Day 1 – 2 1/2

Akhir September lalu gue, Ame dan Fitri bener-bener stuck banget. Stuck sama kerjaan dan hidup yang asik banget kasih kejutan dengan masalah-masalah yang out of the box.

Jadi, kami balas dendam sama hidup. Kami liburan mendadak! Beuh, tiga manusia mantan freelancer yang kini jadi buka usaha sendiri mau liburan mendadak! Gak terencana! Gokil! Abis! Persetan lah jadwal (dengan-catatan-pulang-pagi-pas-Selasa)! Yeah!!!

Gue: Mau liburan kemana, guys?

Ame: Ke LOMBOK!

Gue: Berangkat! Cari tiket!

Ame: *browsing tiket* Anjrit, mahal banget!

Fitri: Gue nggak jadi ikut deh!

Gue: …

Jadi gitu lah, akhirnya tinggal gue dan Ame. Dua anak kere ini nggak sanggup beli tiket ke Lombok walau kami sebenarnya ngiri setengah mati sama kawan kami Sigit yang isi Path-nya tentang Gili semua. Akhirnya pilihannya tingga 2: ke Bali atau ke Singapura (yang ironisnya jauuuh lebih murah dari pada ke Lombok -__-“). Karena kami kangen pantai (dan, ehm, Bali lebih murah biaya hidupnya) jadilah kami ke Bali.

Sabtu, 28 September 2012, pukul 2 siang kami berangkat dari Jakarta ke Bali. Terlalu siang sebenarnya. Tapi kami traveler kere. Pergi dan pulang dengan tiket yang termurah. Pergi naik Lion Air. Pulang naik Sriwijaya Air. Banyak amal di antaranya, jaga-jaga kalau ada apa-apa di udara.

Touchdown Bali! Muka masih lecek 😀

Sampai Bali, gue langsung nyetir Karimun Estilo. Ini pengalaman pertama gue nyetir sendiri di Bali. Di samping, Ame siap jadi navigator dengan modal aplikasi Waze di iPhone. Aplikasi yang sama yang membuat gue nyasar setengah Jakarta bersama navigator lain pada sehari sebelumnya. Jadi ini pembuktian bagi app ini, salah si app atau navigatornya :p

Perjalanan dimulai. Gue lagi males mikir mau ke mana. Semua terserah si Nyonyah Ame, gue mah tinggal nyetir. Jadi, awalnya Ame merencanakan ini akan jadi liburan ala Zen; Nginep di Ubud. Minggu ke pantai. Senin jadi anak nongkrong seharian di Ubud. Selasa pulang pagi.

Pokoknya ini akan jadi liburan dewasa kami berdua lah. Merenung di tepi sawah. Merenungi nasib, arah hidup dan arah jalan kalau nyasar pas naik sepeda. Pokonya deep! “Dalem-dalem” New Age gitu lah kayak film Arisan 2 :p Bakal beda sama liburan random kami berdua waktu ke Ho Chi Minh dimana kami tinggal di red district, stress ngeliat museum perang Vietnam, ditipu tukang cyclo, kere mendadak. Lalu, karena bete sama HCM, kami secara impulsif cabut ke Da Lat. Kota kecil yang murah dan asik yang ditempuh 8 jam perjalanan naik bus dari HCM.

Jadi, hari itu sampai di Bali saat sudah mau sunset. Ngejar sunset di Kuta? Nggak dong. Ini kan liburan zen, lagian ih, Kuta standar banget untuk anak zen. Tapi kan kami anak Jakarta kan ya, laper dan nggak tahu jalan. Jadi insting zennya belum jalan. Buka foursquare dan cabs lah kami keeee: Warung Made, Legian.

TAPI justru ini yang bikin perjalanan kami makin tidak Zen :p

Balik dari Warung Made kami jalan kaki menuju mobil yang parkirnya agak jauh. Pas pulang gue ngeliat ada plang travel yang tulisan BALI – GILI! Gue langsung sikut-sikut Ame untuk masuk ke sana. Di sana, kami baru tahu dua hal: 1. Dari Bali bisa nyebrang ke Gili dari pelabuhan Padang Bai; 2. Gili itu bagian dari NTB : ))

Keluar dari travel kami megang brosur. Seorang Rp 660,000 untuk biaya pulang pergi Padang Bai – Gili. Kalau mau, besok pukul 11 harus sudah ada di pelabuhan untuk nyebrang ke Gili.

Kami pun melabil: Ke Ubud atau ke Gili?? Ah, first world problem. 

Ame: Jadi kemana, Gin?

Gina: Terserah ah. Males mikir.

Ame: Bantuin mikir dong lo!

Gina: Sigit di Gili sih.

Ame: Tapi gue udah booked kamar hotel Ubud. Gue nggak enak batalinnya.

Gina: Ya udah, sih, gue aja yang batalin.

Ame: Terus kita berapa lama ke Padang Bai?

Gina: Kalau kata si Waze 1,5 jam sih.

Yadda yadda yadda… Gili, it is.

***

Karena memilih Gili berarti kami harus nyetir 1,5 jam ke Padang Bai setelah sebelumnya si Sigit histeris pas kami telpon mau nyusul dia ke Gili: Dasar perempuan randoooom!!! Hati-hati di jalan!.

1,5 jam itu berarti jauh banget karena malam dan nggak pakai macet. Jalannya sih gampang karena cuma harus lewat bypass. Tapi gelap dan sepi banget, man! Sepanjang jalan gue sibuk berdoa dalam hati biar mobil gak kenapa-kenapa. Cukup sial gue, ban pecah di depan toko obat kuat pas gue nyetir sendiri, sehari sebelumnya. Nggak lucu banget kalau terjadi di Bali. Nggak ada teman baik naik ojek yang mau datang nolong gantiin ban.

Belum lagi mobil kami nggak ada STNK-nya. Soalnya yang punya lupa bawain pas di bandara. Jadi kami berpegang dengan surat tanda sewa kendaraan. Bawannya deg-degan tiap lihat polisi -__-“

Jadilah kami menembus gelap. Jalan semakin lama makin sepi. Paling beberapa truk aja yang lewat. Bulan purnama makin terang sih tapi si Waze yang biasanya up to date dan ada suaranya tiba-tiba hang karena faktor sinyal 3G. Sayang bulan nggak bisa ngomong.

Dan tentu kami nyasar. Sudah dua jam di jalan kami malah ke desa adat. Keren emang banyak pura dan banyak warga berpakaian adat. Tapi ini mana pelabuhannya? Apakah ini beneran Padang Bai? Eh, ternyata si Ame salah masukin nama hotelnya. Epik banget emang dia. Untung masih ada sinyal untuk nelpon orang hotel, jam 11 malam di tengah jalan berkelok dan akhirnya kami mutar jalan.

Setelah muter-muter beberapa kali, kami sampai ke hotel Padang Bai Resort. Biayanya Rp 635,000 per malam. Kami dapat keberuntungan: upgrade kamar yang lebih besar plus diskon nyebrang ke Gili jadi: Rp 550,000/orang/pp. Tapi karena plot Tuhan itu ajaib: kartu ATM BCA Ame tertelan di ATM Mandiri pas ambil duit. Mau nangis nggak sih? Apalagi duit kami ada di situ. Jadilah kami bertahan dengan uang ngepas dan ATM gue yang mepet.

Malemnya kami setelah (sensor sensor *yang bukan porno ya*) langsung tidur. Kurang nyenyak karena bunyi klakson kapal malem-malem.

Padang Bai Hotel Resort. Rata-rata yang ke sini untuk belajar diving.

Tukar voucher dengan tiket fast boat.

Cuma ada dua orang turis dari Indonesia: kami!

Di pelabuhan Padang Bai cuma kami turis asal Indonesia. Sisanya bule.

Muka lebih ceria : ))

Ini Marina Srikandi fast boat. Waktu tempuh Padang Bai – Gili Trawangan: 75 menit.

Pelabuhan Padang Bai. Dadah Bali 😀

Gili here we come! If it was meant to be it will happen.

Bersambung ke So Called “Anak Zen” Trip: Day  2 1/2 – 3….

Beku

Semalam, alam semesta secara acak mempertemukan gue dengan teman-teman SMA gue. Salah satunya adalah sahabat gue yang biasa gue temukan di Path sangking kami terlalu sibuk. Yes, God bless this app. 

Jadi semalam adalah quality time kami. Chicken wings, bir dingin, asap rokok dan percakapan ala Sex and The City kami. Dia: Miranda, gue: Carrie dan teman kami, a proud coming out gay, yang kemudian datang adalah si Samantha.

Tapi sebelum kami berenam, ada hanya kami berdua. Kami berdua si sama-sama Virgo, hidup penuh drama, susah punya teman cewek (karena nggak tahan sama obrolan cewek yang suka nggak penting) dan karena itulah kami cocok. Kami jarang bertemu, tapi sekali bertemu kami bisa bicara seluruh rangkuman hidup.

Kami bertukar cerita. Berusaha cari solusi. Ngomong blak-blakan. Bahas soal comfort zone. Yadda yadda yadda… Sampai akhirnya gue bilang: “Kadang gue selalu pengen bekuin waktu lho, Teph, kalau keadaan lagi baik-baik aja. Soalnya gue tahu, setelah masa bahagia dan tenang itu bakal ada masalah.”

Sahabat gue ini tertawa, “Anjrit! Sama banget kayak gue!” 

Gue ketawa. Lega. Karena rasanya gue nggak pernah cerita ke siapa-siapa sebelumnya. Kenapa? Soalnya gue pikir itu konyol dan egois, nggak fair untuk orang terdekat yang sedang tumbuh. Ya Tuhan, untuk urusan ngayal gini aja gue masih enggak enak hati.

Lega karena bukan cuma gue doang yang suka mikir gitu. Lega karena dalam satu waktu hidup, ada orang yang setuju lo boleh sejenak jadi pengecut, sebelum akhirnya jalanin lagi. Beresin kekacauan yang sedang terjadi.

“Tapi lo harus berhenti nyalahin diri lo sendiri tau, Gin. Stop terlalu keras sama diri lo sendiri. Nggak kasih solusi apa-apa!!” 

Gue cuma bisa mengangguk. Ya, gue tahu itu. Tapi gue nggak bisa menjawab. Gue belum tahu gimana caranya. Gue sesap lagi minuman gue. Karena sama seperti sekarang, saat itu pandangan gue mulai kabur, mata mulai panas dan air mata nyaris menetes.

Meredith Grey

Meredith Grey

Dia bukan karakter serial televisi yang mudah untuk dicintai dari awal. Cantik banget enggak. Heroik juga enggak. Punya banyak masalah iya. Solutif kadang-kadang.

But I totally really can relate with her since the first episode. I don’t care that so many people hate her. Some people called her: “the pointless character on the show”. But I like this girl. Damn it, I love her. I grow with this Grey. Sometimes, I think, she is me in a nutshell.

Soal Cinta dan Memori Tubuh

Disclaimer: Sebenarnya gue tak berencana menulis ini. Tapi tweet semalam soal stuck ini bikin beberapa teman yang nanya. Oya, dalam postingan ini gue akan banyak menggunakan kata “cinta”. Segeli-gelinya gue dengan kata itu, rasanya tak ada kata lain yang lebih tepat. “Sayang pertama” rasanya tak setepat “cinta pertama”. So, bear with me people! :p

Soal stuck dengan mantan pacar, gue mungkin bisa jadi salah satu contoh terbaik. Jatuh cinta sama teman lo yang sama-sama geek, di”tembak” dengan disuruh nyari huruf-huruf yang membentuk kalimat sayang di buku (horor!) “Bag of Bones”, cocok banget dalam hal apa saja, pacaran 10 bulan waktu SMA kelas 2, diputusin di Bromo waktu di perjalanan dharma wisata karena gue cemburuan, kemudian masuk ke hubungan pertemanan yang diselingi dengan “jatah mantan” di antaranya.

Ya, gue salah satu contoh yang terbaik. Untuk gue, waktu stuck dulu, dia “blue print” cowok yang gue mau. Untuk melupakan dia, gue pacaran dengan sporadis, terobsesi dengan cowok Scorpio, bertahun-tahun setengah mati menahan untuk mengontak dia yang nomernya selalu gue ingat, dia sering muncul dalam mimpi dan gue membuat satu film (bersama sahabat gue yang stuck juga dengan mantan pacarnya) berjudul: “Foto, Kotak dan Jendela”.

Kemudian, beberapa minggu lalu, dia bilang kalau dia akan menikah. Menikah dengan pacarnya setelah gue. Hehe.

Gue ikut senang. Stuck gue sudah lewat, dan, bagaimanapun kompleksnya hubungan kami, dia adalah sahabat yang selalu bisa diandalkan. Sahabat akan senang kalau sahabatnya senang kan? Dan dari kabar itu muncul satu pertanyaan: Kenapa gue bisa stuck sama dia? Apa yang membuat kenangan bersama seseorang bisa menguasai selama bertahun-tahun?

***

Pertanyaan gue terjawab kemarin sore. Gue sedang meeting development cerita dengan dengan seorang sahabat sekaligus editor dan entah mengapa pembicaraan kami sampai di pertanyaan yang sama.

Sahabat gue ini kemudian mengutip dialog film “Vanilla Sky”:

“Don’t you know that when you sleep with someone, your body makes a promise whether you do or not.”

Kurang lebih jika dihubungkan dengan pertanyaan ini adalah: stuck bukan masalah hati, tapi tentang tubuh kita yang mengingat.

Biologis banget? Memang. Hey, jangankan tubuh. Penelitian Universitas Sidney membuktikan sel jamur physarum polycephalum yang berbentuk lendir, punya memori spasial. Itu lendir, dan kita pacaran enggak cuma dengan lendir saja dong? :p

Gue langsung ingat kalau gue pernah sekilas menulis soal cinta dan naik sepeda. Bagi gue, jatuh cinta itu skill hidup. Percaya dan peduli orang lain dengan tulus itu adalah skill hidup. Sekali bisa jatuh cinta, seperti sekali kita bisa naik sepeda, otak keseimbangan kita tak akan lupa.

Dalam kasus stuck ini, pacaran pertama tak berarti cinta pertama. Cinta pertama adalah di saat tubuh dan emosi kita siap. Kita benar-benar merasakan manisnya. Kita benar-benar merasakan pahitnya. Kita tak akan ingat detil kita belajar naik sepeda, atau belajar baca, tapi kita akan ingat moment di saat kita benar-benar bisa.

Bagi kasus gue, gue tak ingat dua pacar sebelum dia karena itu adalah saat gue belajar. Tapi gue ingat terus saat gue pacaran dengan dia. Itu mengapa tubuh gue mengingat dia terus.

***

Tapi, untungnya, tubuh juga tumbuh.

Tubuh terluka, tubuh menyembuhkan. Tubuh mencari, tubuh menemukan. Dan untungnya keberanian (ehm, atau kenekatan) gue untuk jatuh cinta tak secemen keberanian gue untuk naik sepeda yang lebih tinggi. Pada akhir segala drama stuck itu, gue bisa menarik napas lega dan merasa baik-baik saja.

Now, I’ve found my “home”… and I hope he, my first love, will too.

Congrats for the engagement! : )

Artefak Digital

Waktu SD gue pengen banget jadi arkeolog (lebih tepatnya: palaeontologist) gara-gara film Jurassic Park. Seru banget mencari fosil dinosaurus dan bisa ketemu dinosaurus hidup!

Nasib berkata lain. Setelah patah hati karena ternyata dinosaurus nggak mungkin hidup lagi, gue mau jadi ahli forensik. Kembali takdir yang berbicara, gue masuk IPS, masuk jurusan komunikasi dan menjadi penulis.

Tapi hobi lama: mencari, memang susah dibuang. Jadilah gue pencipta karakter yang hobi jalan-jalan dari satu blog ke blog lain. Peneliti manusia dengan artefak digital mereka.

Termasuk juga ke blog gue. Sepanjang hidup jadi warga dunia digital, gue punya tiga blog. Dua tamat menggenaskan karena walau gue seorang pencatat, gue bukan perawat yang baik.

Blog yang pertama, kolammimpi.blogspot.com tamat karena di-hacked. Blog kedua; humanchameleon.multiply.com tamat karena lupa password-nya. Blog ketiga, terselamatkan dari lupa password: ginatri.tumblr.com lebih seperti scrapbook dibandingkan blog.

Jadi ini blog ke-empat gue. Gue memutuskan bikin blog baru lagi setelah dua malam lalu jalan-jalan ke dua blog pertama. Gue teringat lagi betapa gue tumbuh. Gina 19 tahun beda banget dengan Gina 22 tahun. Gina 22 tahun ingin dicubit pipinya gemas oleh Gina 27 tahun. Hmm, sekarang gue jadi penasaran, Gina yang sekarang mau diapakan oleh Gina 5 tahun lagi.

p.s: Halo Gina masa depan, how’s life? : )