Rumah masa kecil 🙂 Jln. Prabumulih No. 664. – at Komplek pertamina
View on Path
Tiga tahun lalu, setelah kontraksi 30 jam, ‘Bung’ Akar Randu lahir. Hidupnya sudah diuji sejak lahir dan semoga karena itu terus tumbuh jadi pribadi yang kuat, jadi pelindung yang kokoh, pemimpin yang dicintai 🙂 love you kiddo.
ps: semoga obsesi pada mobilnya tak berlanjut sampai benar jadi pembalap, haha 😜
View on Path
Akhirnya #imung 1 & 2 akan terbit jugaaa 😊✌️ – at PlotPoint Kreatif: Publishing & Workshop
View on Path
8 years ago. Eight years, my favourite number, with my most favourite person on earth: Salman Aristo.
Memasuki tahun kedelapan kita, dan dengan semua yang kita telah lewati, aku tak bisa menghindari fakta bahwa setiap hal di dunia ini akan mempunyai akhirnya. Termasuk kita.
Jadi, tujuanku kini mendadak semakin sederhana, agar kita nanti punya akhir yang bahagia.
Agar ketika nanti akhir masa kita berdua, kita bisa saling menatap dan tersenyum dengan cinta yang semakin dalam. Pada detik itu nanti, semoga kita bisa saling berbisik “terima kasih”, karena tak ada yang perlu disesalkan dalam perjalanan kita. Kita akan bisa saling melepas dengan ikhlas karena kita, insya Allah, akan bisa bertemu lagi.
Tapi, mungkin tak ada satu pun yang sempat terjadi pada perpisahan kita. Mungkin mata kita sudah terlebih dulu menutup, tangan sudah tak dapat menggenggam dan bibir tak sempat lagi untuk mengucap apalagi tersenyum. Mungkin kita bahkan tak bertemu.
Entahlah, karena hidup sudah pasti akan mengejutkan kita.
Namun, apa pun yang terjadi, semoga hati kita selalu bisa terhubung. Karena kita tahu, seperti apa pun akhir kita, kita akan bertemu kembali. Bertemu dalam kenangan baik yang diceritakan oleh mereka yang kita sayangi, dan semoga akan bertemu di surga bersama mereka yang lebih dulu meninggalkan kita.
Demi detik itu kita akan bekerja keras untuk ‘kita’. Memperbaiki apa yang salah, meluruskan apa yang pernah bengkok. Membangun ‘kita’ yang lebih kuat. Terus tumbuh untuk ‘kita’ yang lebih baik.
Seperti delapan tahun yang lalu, hari ini adalah awal perjalanan baru kita.
Dan semoga Allah memberikan berkahnya untuk perjalanan kita.
Aamiin.
Minggu lalu saya menonton film ‘Gravity’, and I love it.
Ceritanya sendiri simpel, tentang seorang astronot perempuan yang tak punya apa-apa lagi di bumi namun harus bertahan hidup sendirian dan mau kembali ke bumi. About a mother who wants to come home to the mother earth. Tapi maknanya dalam sekali, sebuah optimisme terhadap kemanusiaan. Saya tak langsung terpikir ini waktu selesai menontonnya, maklumlah akibat terpana dari segi teknisnya. Saya menontonnya di IMAX, pada baris J, sehingga layar terlihat besar sekali dan seperti berasa di tengah luar angkasa. Tapi kalau saya pikir-pikir lebih dalam lagi, film ini jadi lebih ‘dalam’ maknanya jika kamu menontonnya saat sudah menjadi ibu. The movie stays with you.
No one, even your husband, know how it really feels to be a mom, surviving motherhood, or worse… how to survive from losing a child. And yet, despite all the bad things, you must be back on your feet and trust yourself as a mother.
Menjadi ibu memang pengalaman personal yang sangat rumit karena tak mudah berbagi kehidupan dengan manusia lain dalam tubuhmu. Saat ada seorang janin manusia dalam rahim perempuan, maka detik itu juga dia jadi seorang ibu, dan itu perjalanan yang tak bisa dihentikan. Bahkan ketika seorang ibu keguguran, kehilangan anaknya, mengaborsi janinnya, atau membuang bayinya, dia selamanya tetap pernah menjadi seorang ibu. Punya insting keibuan lain lagi ya, tapi pernah jadi ibu… itu fakta yang tak bisa dibatalkan.
Menjadi ibu menyadarkan saya betapa rapuhnya hidup. Seperti gravitasi di bumi, menjadi ibu menyadarkan keterbatasan kita sebagai manusia. Seorang ibu harus selalu siap sedia bertahan, memberi yang terbaik untuk anak-anaknya, memberikan harapan seluas-luasnya kepada mereka… Sementara sudah tahu kalau semua ini ada akhirnya. Karena pada suatu hari yang buruk, kamu akan kehilangan anakmu. Mereka akan pergi atau kamu yang akan pergi meninggalkan mereka.
Menjadi ibu adalah perjalanan menuju ikhlas. How to let go, kalau mau mengambil dari film ‘Gravity’. Suatu hari seorang astronot melepaskan diri dari pengikatnya dari kapal luar angkasanya untuk menyelamatkan diri, namun kemudian dia terombang ambing di luar angkasa yang tak dia kenal sama sekali. Suatu hari di hari kelahiran kita, kita terlepas dari tali pusar, satu-satunya ikatan fisik yang menghubungkan anak dengan ibunya. Pada hari kelahirannya itu pula seorang anak sebenarnya sudah sendiri di dunia yang sama sekali baru.
Beberapa anak akan menyerah sebelum akhir takdirnya, beberapa anak akan bertahan hingga akhir takdirnya. Dan pada akhirnya, yang bisa membuat manusia bertahan adalah ketegarannya untuk merelakan dan terus berjalan di muka bumi.
– untuk ibu, biru dan bung.
GRAVITY (2013)
Director: Alfonso Cuarón
Writers: Alfonso Cuarón, Jonás Cuarón
Stars: Sandra Bullock, George Clooney, Ed Harris
Saya selalu berpikir saya dan Iqbal akan memulai karir dan pensiun bersama. Namun ternyata takdir berkata lain. Kami pertama kali kenal sekitar 8 atau 9 tahun yang lalu. Saat Dapur Film masih di jalan AMD, saat sepatu-sendal masih sering berantakan di depan pintu depannya.
Saya sedang meeting skenario saat Iqbal masuk, entah skenario Fairish atau sedang mulai Lentera Merah. Lalu Mas Hanung memperkenalkan dia sebagai anak magang dari Surabaya.
“Kenal Mas Hanung dari mana?” Tanya saya. “Dari kirim message friendster,” jawab Iqbal sambil nyengir. Lalu mengalirlah cerita Iqbal tentang kisah epic-nya: nekat pergi dari Surabaya untuk magang (dan kemudian tinggal) di Dapur Film. Obrolan kami bertambah hangat karena kami seumuran (20 tahun, masih lugu bin naif) dan sama-sama lahir di Kalimantan Timur.
Dari detik itu, hingga pada saat terakhirnya, ada tiga hal yang terus bertambah dari Iqbal: keberaniannya, kebaikannya dan cintanya pada film. Saya menyaksikan dia membangun keluarga sembari terus berani belajar di tiap karyanya. Bahkan sekitar dua bulan lalu, Iqbal masih mengirimkan sebuah novel yang dia ingin saya adaptasikan.
Kini Iqbal sudah pergi dengan tenang. Saya bersama para sahabatnya datang ke Surabaya, ke rumahnya yang dulu dia tinggalkan demi passion-nya. Kami melepasnya diiringi airmata serta kisah semangat dan ketabahan Iqbal yang luar biasa di sisa waktunya dari orang-orang terdekatnya.
Iqbal memang kini sudah berpulang, namun kenangan baik, keberanian, serta cintanya pada film dan hidup akan terus ada bersama kita, sahabatnya, keluarganya, Mia dan Kiara.
Selamat beristirahat Iqbal Rais. Hidupmu adalah cerita baik yang akan terus menginspirasi kami. Insya Allah, kami akan saling menjaga di sini.
Al-fatihah….
Kehilangan kacamata dan meninggalnya seorang teman pada Kamis minggu lalu, kembali mengingatkan lagi tentang hal-hal yang mudah dilupakan. Bahwa ada hal yang bisa diganti dan ada yang tidak. Bahwa ada yang bisa kembali dan ada yang selamanya. Bahwa waktu ada untuk tiada. Bahwa kehilangan lah yang menghadirkan hadir.
Selamat berpulang, Pecuy. Semoga kau akan selalu hadir dalam kenangan baik kami. Aamiin.
This is a funny yadda, yadda, yadda from Seinfeld. Iya, ini penawar postingan sebelumnya yang terlalu gloomy :p
Semalam, alam semesta secara acak mempertemukan gue dengan teman-teman SMA gue. Salah satunya adalah sahabat gue yang biasa gue temukan di Path sangking kami terlalu sibuk. Yes, God bless this app.
Jadi semalam adalah quality time kami. Chicken wings, bir dingin, asap rokok dan percakapan ala Sex and The City kami. Dia: Miranda, gue: Carrie dan teman kami, a proud coming out gay, yang kemudian datang adalah si Samantha.
Tapi sebelum kami berenam, ada hanya kami berdua. Kami berdua si sama-sama Virgo, hidup penuh drama, susah punya teman cewek (karena nggak tahan sama obrolan cewek yang suka nggak penting) dan karena itulah kami cocok. Kami jarang bertemu, tapi sekali bertemu kami bisa bicara seluruh rangkuman hidup.
Kami bertukar cerita. Berusaha cari solusi. Ngomong blak-blakan. Bahas soal comfort zone. Yadda yadda yadda… Sampai akhirnya gue bilang: “Kadang gue selalu pengen bekuin waktu lho, Teph, kalau keadaan lagi baik-baik aja. Soalnya gue tahu, setelah masa bahagia dan tenang itu bakal ada masalah.”
Sahabat gue ini tertawa, “Anjrit! Sama banget kayak gue!”
Gue ketawa. Lega. Karena rasanya gue nggak pernah cerita ke siapa-siapa sebelumnya. Kenapa? Soalnya gue pikir itu konyol dan egois, nggak fair untuk orang terdekat yang sedang tumbuh. Ya Tuhan, untuk urusan ngayal gini aja gue masih enggak enak hati.
Lega karena bukan cuma gue doang yang suka mikir gitu. Lega karena dalam satu waktu hidup, ada orang yang setuju lo boleh sejenak jadi pengecut, sebelum akhirnya jalanin lagi. Beresin kekacauan yang sedang terjadi.
“Tapi lo harus berhenti nyalahin diri lo sendiri tau, Gin. Stop terlalu keras sama diri lo sendiri. Nggak kasih solusi apa-apa!!”
Gue cuma bisa mengangguk. Ya, gue tahu itu. Tapi gue nggak bisa menjawab. Gue belum tahu gimana caranya. Gue sesap lagi minuman gue. Karena sama seperti sekarang, saat itu pandangan gue mulai kabur, mata mulai panas dan air mata nyaris menetes.