Selalu Waktu

Aku mencintaimu
Pada setiap pernah
Pada setiap sedang
Pada setiap akan
Pada setiap retak
Pada setiap rengkuh
Pada setiap kita
Pada setia kita.

Jakarta, 21 Januari 2013

untuk cerita terbaik dalam hidupku: salman aristo, di hari pernikahan yang ketujuh

20130121-211407.jpg

Advertisement

Tiga Film Untuk Selamanya

Ada tiga film yang selalu nempel di kepala gue. Macam iklan yang pasti ada sebelum nonton film di bioskop, memori gue akan tiga film ini otomatis selalu muncul tiap gue sedang menghadapi masalah yang berkaitan.

Selain itu, tiga film ini yang terus mengingatkan gue kenapa gue mau bercerita dan berkarya. Gue sempat ngobrol sama Teguh soal seni. Dia bilang, karya itu baru dibilang seni kalau bisa kasih kesadaran baru (new conscious) ke penikmatnya.

Nah, ketiga film ini selalu berhasil kasih kesadaran baru setiap gue ingat. Benar-benar karya yang “tumbuh” dalam diri gue. Setiap gue ingat film ini, gue selalu berterimakasih dalam hati kepada para filmmaker-nya karena sudah bikin film ini.

Doa gue selanjutnya, semoga gue bisa bikin film seperti tiga film ini: film yang tumbuh di hidup mereka yang nonton. Rasanya ini yang jauh lebih berat dari film lo laku atau film lo masuk dan menang di festival film. Seperti kata Barbara Streisand, yang diingat bukan film yang menang di Oscar tahun itu… Tapi film yang paling berkesan di hidup lo. Mungkin doa gue kurang valid ya, maklum film gue belum ada yang masuk/menang ke festival bergengsi. Hehehe.

Film pertama adalah Tokyo Story (Yasujiro Ozu, 1953), film hitam putih ini muncul setiap gue kangen orang tua dan mertua gue. Kangen dan merasa bersalah karena betapa makin sibuknya waktu gue untuk bertemu mereka. Pertama kali nonton ini waktu tahun 2005, gue (dipaksa) pinjem DVD-nya sama Aris yang waktu itu baru jadi pacar. Film PDKT-nya serius banget ya? Haha.

 

Ini adalah film tentang hidup yang tumbuh dan kesendirian adalah salah satu efek logisnya. Ceritanya tentang pasangan tua yang datang ke Tokyo untuk bertemu putra mereka. Tapi, sampai di sana, anak dan menantu mereka terlalu sibuk untuk menemani mereka. Mereka bukan anak durhaka yang jahat, tapi ya itu dia masalahnya: waktu. Akhirnya yang menemani mereka adalah menantu perempuan mereka yang sudah ditinggal mati suaminya.

Endingnya? Ya Tuhan… Sedih banget. Bukan sedih murahan, tapi sedih yang membuat lubang di hati lo karena diam-diam lo tahu suatu saat bisa berlaku yang sama kepada kedua orang tua lo. Lubang itu lo isi dengan sumpah untuk tidak jadi begitu.

Tapi hidup dan waktu memang kejam. Tiba-tiba 24 jam jadi tak cukup, 7 hari jadi kurang, waktu untuk mereka yang kita cintai sering mau tak mau tersisih. Kita terus terpaksa sibuk sedangkan lubang di hati terus menganga minta ditambal. Well, isn’t life disappointing?

Film kedua adalah film yang selalu muncul saat gue gelisah soal hidup dan karir. Film ini muncul  setiap merasa frustasi karena merasa apa yang telah dikerjakan rasanya tak pernah cukup. Pasti aja ada salahnya, ada gagalnya. Judul filmnya: Achilles and the Tortoise (Takeshi Kitano, 2008).

 

Gue, Aris, Ame dan Fitri nonton film ini di Jiffest 2009. Film ini bukan film yang mudah untuk disuka. Selesai nonton si Ame dan Fitri bahkan langsung bilang mereka benci banget film ini dan memang segitu depresifnya film ini. Namun, film ini seperti gambaran hidup kalau sedang frustasi. Tentu, semoga, kehidupan nyata tak sedramatis ini. Ceritanya terinpirasi dari kisah pertandingan lari Achilles dan kura-kura (Zeno’s Paradoxes). Intinya, secepat apa si Achilles berlari tetap saja si kura-kura akan terus ada di depannya.

Begitu juga kira-kira kisah si tokoh utama film ini, Machisu, dia pelukis yang terus berusaha untuk mengejar sukses. Dia berbakat sekali, tapi selalu dapat hambatan sejak dia kecil untuk mendapatkan kesuksesan itu. Sekeras apapun dia berusaha, selalu saja dia selalu tak bisa mendapatkannya dan sepanjang perjalanannya itu, dia didukung dengan setia oleh istrinya.

Dua orang ini keras kepala banget. Semakin mereka kerasa kepala semakin kita sebagai penonton frustasi. Di akhir film, kita seperti ditantang: Apakah semuanya sepadan?

Pada saat film ini selesai, di situlah dia mulai tumbuh dalam diri gue. Setiap gue (dan/atau Aris) menghadapi tantangan dan kekecewaan dalam karir gue langsung ingat Machisu dan istrinya. Kadang gue Machisu, kadang gue istrinya. Kadang gue merasa marah dan merasa semuanya tak sepadan. Tapi tetap saja selalu cinta dan kekeras kepalaan yang menang. Ya, bahkan untuk Ame dan Fitri yang sekarang mulai suka film itu.

Film ketiga berjudul Badut-Badut Kota (Ucik Supra, 1993). Gue menontonnya sekitar bulan Oktober 2012 saat diputar oleh RuangRupa dan Kineforum. Gue menonton ini setelah sehari sebelumnya gue berdebat dengan mas Ardi soal kemiskinan di film Indonesia. Gue beruntung banget dia nyuruh gue nonton film ini. Lalu kapan gue ingat film ini? Setiap saat gue cekak. Hehehe. Awalnya gue nggak punya film-untuk-moment-cekak gue. Tapi film ini mengubah segalanya, bukan cuma soal menghadapi hidup saat kere tapi tentang untuk apa gue kerja.

Film ini berkisah tentang Dedi dan Menul, pasangan yang nikah muda dengan satu anak. Mereka hidupnya nggak ngepas banget, pas butuh, eh, pas nggak ada. Kenapa? Karena Dedi putus sekolah dan kerja jadi badut Dufan. Menul jadi ibu rumah tangga yang tak berpenghasilan. Ingin buka usaha tapi tak punya modal. Yah, kurang lebih mereka adalah gambaran kehidupan sehari-hari kelas menengah ke bawah Indonesia.

Namun, mereka hidup dengan sangat optimis sekali. Chemistry Dedi Yusuf dan Ayu Azhari langsung mengalahkan chemistry Paul Reiser dan Helen Hunt di serial televisi Mad About You.  Walau saat ibu kontrakan mengusir mereka, walau saat anak mereka sakit, mereka tetap bergandengan tangan dan tersenyum menguatkan. Cheesy? Sama sekali tidak. Rasanya kemiskinan belum pernah digambarkan seromantis, seoptimis dan sekaligus punya solusi seperti ini dalam film Indonesia.

Selesai menonton film gue justru nggak mau bikin film sekeren ini seperti reaksi biasa sehabis nonton film keren. Film ini berhasil mendorong diri gue lebih lagi, menantang gue untuk bertanya ke diri sendiri: Sebagai bagian dari masyarakat, apa peran nyata lo untuk menolong orang lain?

Karena Dedi dan Menul bukan ditolong oleh film. Satu-satunya unsur dari film yang menolong mereka adalah tetangga mereka, Chaerul, yang hidup ngepas walau  sudah menang FFI. Yeah, ini sindiran banget! Mereka semua ditolong oleh orang kaya yang mau percaya dan kasih modal mereka untuk usaha. Ya, usaha. Jadi entrepreneur. Film ini melampaui jamannya, bandingkan dengan saat ini, saat yang dijual di buku, televisi sampai layar lebar adalah kalimat penuh bunga dari motivator.

Gue rasa ini inti dari film ini, selain untuk bikin senyum dan optimis di kala cekak, bagaimana kita lebih kuat untuk menolong diri sendiri dan orang lain. Bukan sekedar sukses berarti kaya sendirian.

Ada satu hal lagi yang bikin gue langsung nyambung dengan film ini: cara Dedi mesra, ngajak Menul bercanda dan menghibur keluarganya saat susah sepanjang film langsung mengingatkan gue ke Aris. Walaupun gue nggak nonton ini bareng dia. Mereka adalah suami sekaligus ayah yang bertanggung jawab, optimis dan sangat sayang keluarga. Menul dan gue adalah perempuan-perempuan yang sangat beruntung.

p.s:

Catatan kecil ini untuk kamu yang selalu mengingatkan aku akan keajaiban hidup dan film. I luurrff you, bi!

“Muntah” Sebelum Nulis #1

Salah satu alasan gue membuat blog lagi, selain untuk alasan yang filosofis: refleksi diri (cieh!), adalah untuk menampung “muntahan kata”. Kadang-kadang otak gue ini mampet merangkai plot serta kata-kata sebelum menulis.  Jari-jari tangan juga kaku diajak mengetik panjang. Sehingga jadilah blog ini semacam ajang pemanasan, semacam foreplay, semacam appetizer, sebelum ke menu utama: menulis cerita panjang. Berhubung kali ini gue sedang aja proyek menulis yang agak panjang dan di medium cerita yang baru, maka harap maklum kalau ke depannya seringkali isi blog ini berisi “muntahan” yang tak penting.

Sebelumnya gue biasa “muntah” di twitter. Tapi keasikan muntah dalam 140 karakter bikin gue jadi lebih nggak produktif. Kalau nulis panjang itu bagai lari marathon, maka kebanyakan ngetwit itu bagai jogging yang kebanyakan jalan. Bagi gue, twitter bukan latihan yang cocok biar panas untuk nulis panjang. Oke, kecuali Aris. Kalau Aris, “muntahan”-nya memang lebih serius, dia candu ber-@fiksimini. “Muntahan”nya ini sudah mencapai ribuan tweet fiksimini dan bahkan sudah jadi sebuah komik yang diterbitkan: PoliTweet. Tapi memang sih taraf produktif dia sudah sampai ke level nggak sopan. Gue juga ragu kalau dia masuk ke dalam kategori manusia normal dalam urusan produktif ini, hehehe, jadi kita nggak perlu minder berjamaah :p

Yak, sudah dulu muntahnya. Sekarang waktunya kembali bekerja. Besok deadline dan tatapan editor gue serta asistennya saat nagih itu bikin nggak enak hati -___-” Gue yakin di kehidupan sebelumnya mereka adalah interogator... atau bisa juga mandor. Hehehe.

PS:

Ngomong-ngomong soal lari, tadi pagi gue dan Teguh hidup sehat banget. Waktu ke Bali kemarin untuk world premiere Jakarta Hati (akan ditulis di post terpisah, ehm, kalau rajin :p), gue dikasih tahu Agni Pratistha spot lari pagi yang asik: di kebun binatang Ragunan. Yep, ternyata lo bisa masuk untuk olah raga sebelum waktu bukanya pukul 09:00. Maka langsung semangatlah gue kembali lari. Untung si Teguh juga mau ikutan lari tanpa harus diiming-imingi akan ketemu Agni di sana. Hari ini gue bangun pukul 04:45, (nggak sadar) ngebut sangking kosongnya Tol JORR, jemput Teguh, lalu sampai di Kebun Binatang Ragunan pas pukul 06:00.

Enak banget di sana: murah, aman, masih sepi, adem dan oversupply oksigen karena banyak pohon. Di sana lari-lari kecil sambil kebanyakan jalan karena kami anak jompo : )) Selain itu jadi salah fokus keliling lihat binatang. Hehe. Binatangnya cuma beberapa yang kelihatan. Ada yang sudah mau menyapa: gajah; Ada yang malu-malu: jerapah; Ada yang masih dikandangin: orang utan; Ada yang nggak ketemu karena entah-jauh-banget-atau-emang-cuma-mitos-kalau-binatang-itu-ada-di-Ragunan: Harimau Putih.

Anyway, we had fun dan sepakat mau rutin lari di sana. Target kami minggu depan adalah ketemu Harimau Putih dan bakar lebih banyak kalori! : D

*lah ini kenapa jadi nulis lagi sih? -__-“*

 Disclaimer: perut gede itu bukan buncit! Itu akibat naruh semua barang ke dalam kantung jaket :p

Quote of the day dari Teguh: Mbak, gajahnya nggak bisa lompat keluar kan? : ))

Akhirnya bisa ngelihat buah (?) Randu secara close up and personal! #halah 

Sebelum keluar dari pintu utara Kebun Binatang Ragunan dilepas sama pelikan …

… dan dilepas sama ibu-ibu pengajian yang mau shooting acara agama sama Trans 7. Btw, shooting siang hari di Ragunan dan  pakai seragam pengajian memang cara yang efektif biar takut neraka. Panas, man! Hehehe.

Meredith Grey

Meredith Grey

Dia bukan karakter serial televisi yang mudah untuk dicintai dari awal. Cantik banget enggak. Heroik juga enggak. Punya banyak masalah iya. Solutif kadang-kadang.

But I totally really can relate with her since the first episode. I don’t care that so many people hate her. Some people called her: “the pointless character on the show”. But I like this girl. Damn it, I love her. I grow with this Grey. Sometimes, I think, she is me in a nutshell.

Soal Cinta dan Memori Tubuh

Disclaimer: Sebenarnya gue tak berencana menulis ini. Tapi tweet semalam soal stuck ini bikin beberapa teman yang nanya. Oya, dalam postingan ini gue akan banyak menggunakan kata “cinta”. Segeli-gelinya gue dengan kata itu, rasanya tak ada kata lain yang lebih tepat. “Sayang pertama” rasanya tak setepat “cinta pertama”. So, bear with me people! :p

Soal stuck dengan mantan pacar, gue mungkin bisa jadi salah satu contoh terbaik. Jatuh cinta sama teman lo yang sama-sama geek, di”tembak” dengan disuruh nyari huruf-huruf yang membentuk kalimat sayang di buku (horor!) “Bag of Bones”, cocok banget dalam hal apa saja, pacaran 10 bulan waktu SMA kelas 2, diputusin di Bromo waktu di perjalanan dharma wisata karena gue cemburuan, kemudian masuk ke hubungan pertemanan yang diselingi dengan “jatah mantan” di antaranya.

Ya, gue salah satu contoh yang terbaik. Untuk gue, waktu stuck dulu, dia “blue print” cowok yang gue mau. Untuk melupakan dia, gue pacaran dengan sporadis, terobsesi dengan cowok Scorpio, bertahun-tahun setengah mati menahan untuk mengontak dia yang nomernya selalu gue ingat, dia sering muncul dalam mimpi dan gue membuat satu film (bersama sahabat gue yang stuck juga dengan mantan pacarnya) berjudul: “Foto, Kotak dan Jendela”.

Kemudian, beberapa minggu lalu, dia bilang kalau dia akan menikah. Menikah dengan pacarnya setelah gue. Hehe.

Gue ikut senang. Stuck gue sudah lewat, dan, bagaimanapun kompleksnya hubungan kami, dia adalah sahabat yang selalu bisa diandalkan. Sahabat akan senang kalau sahabatnya senang kan? Dan dari kabar itu muncul satu pertanyaan: Kenapa gue bisa stuck sama dia? Apa yang membuat kenangan bersama seseorang bisa menguasai selama bertahun-tahun?

***

Pertanyaan gue terjawab kemarin sore. Gue sedang meeting development cerita dengan dengan seorang sahabat sekaligus editor dan entah mengapa pembicaraan kami sampai di pertanyaan yang sama.

Sahabat gue ini kemudian mengutip dialog film “Vanilla Sky”:

“Don’t you know that when you sleep with someone, your body makes a promise whether you do or not.”

Kurang lebih jika dihubungkan dengan pertanyaan ini adalah: stuck bukan masalah hati, tapi tentang tubuh kita yang mengingat.

Biologis banget? Memang. Hey, jangankan tubuh. Penelitian Universitas Sidney membuktikan sel jamur physarum polycephalum yang berbentuk lendir, punya memori spasial. Itu lendir, dan kita pacaran enggak cuma dengan lendir saja dong? :p

Gue langsung ingat kalau gue pernah sekilas menulis soal cinta dan naik sepeda. Bagi gue, jatuh cinta itu skill hidup. Percaya dan peduli orang lain dengan tulus itu adalah skill hidup. Sekali bisa jatuh cinta, seperti sekali kita bisa naik sepeda, otak keseimbangan kita tak akan lupa.

Dalam kasus stuck ini, pacaran pertama tak berarti cinta pertama. Cinta pertama adalah di saat tubuh dan emosi kita siap. Kita benar-benar merasakan manisnya. Kita benar-benar merasakan pahitnya. Kita tak akan ingat detil kita belajar naik sepeda, atau belajar baca, tapi kita akan ingat moment di saat kita benar-benar bisa.

Bagi kasus gue, gue tak ingat dua pacar sebelum dia karena itu adalah saat gue belajar. Tapi gue ingat terus saat gue pacaran dengan dia. Itu mengapa tubuh gue mengingat dia terus.

***

Tapi, untungnya, tubuh juga tumbuh.

Tubuh terluka, tubuh menyembuhkan. Tubuh mencari, tubuh menemukan. Dan untungnya keberanian (ehm, atau kenekatan) gue untuk jatuh cinta tak secemen keberanian gue untuk naik sepeda yang lebih tinggi. Pada akhir segala drama stuck itu, gue bisa menarik napas lega dan merasa baik-baik saja.

Now, I’ve found my “home”… and I hope he, my first love, will too.

Congrats for the engagement! : )

Artefak Digital

Waktu SD gue pengen banget jadi arkeolog (lebih tepatnya: palaeontologist) gara-gara film Jurassic Park. Seru banget mencari fosil dinosaurus dan bisa ketemu dinosaurus hidup!

Nasib berkata lain. Setelah patah hati karena ternyata dinosaurus nggak mungkin hidup lagi, gue mau jadi ahli forensik. Kembali takdir yang berbicara, gue masuk IPS, masuk jurusan komunikasi dan menjadi penulis.

Tapi hobi lama: mencari, memang susah dibuang. Jadilah gue pencipta karakter yang hobi jalan-jalan dari satu blog ke blog lain. Peneliti manusia dengan artefak digital mereka.

Termasuk juga ke blog gue. Sepanjang hidup jadi warga dunia digital, gue punya tiga blog. Dua tamat menggenaskan karena walau gue seorang pencatat, gue bukan perawat yang baik.

Blog yang pertama, kolammimpi.blogspot.com tamat karena di-hacked. Blog kedua; humanchameleon.multiply.com tamat karena lupa password-nya. Blog ketiga, terselamatkan dari lupa password: ginatri.tumblr.com lebih seperti scrapbook dibandingkan blog.

Jadi ini blog ke-empat gue. Gue memutuskan bikin blog baru lagi setelah dua malam lalu jalan-jalan ke dua blog pertama. Gue teringat lagi betapa gue tumbuh. Gina 19 tahun beda banget dengan Gina 22 tahun. Gina 22 tahun ingin dicubit pipinya gemas oleh Gina 27 tahun. Hmm, sekarang gue jadi penasaran, Gina yang sekarang mau diapakan oleh Gina 5 tahun lagi.

p.s: Halo Gina masa depan, how’s life? : )